oleh: Muhammad Tanziel Aziezi (Peneliti LeIP)
Pada hari Rabu, 3 Juni 2020, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan putusan No. 230/G/TF/2019/PTUN-JKT. Dalam perkara ini, Majelis Hakim mengabulkan seluruh petitum gugatan terkait pelambatan dan pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat dalam rentan waktu 14 Agustus 2019 – 9 September 2019, yang diajukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pembela kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet). Dalam amarnya, Majelis Hakim yang terdiri dari Nelvy Christin, S.H., M.H. (Hakim Ketua), Baiq Yuliani, S.H., M.H. (Hakim Anggota), dan Indah Mayasari, S.H., M.H. (Hakim Anggota) ini memutuskan bahwa pemerintah, dalam hal ini adalah Menteri Komunikasi dan Informasi (Tergugat I) dan Presiden Republik Indonesia (Tergugat II), telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena melakukan pemutusan akses internet tersebut. Putusan ini kemudian mendapatkan respon positif dari para aktivis Hak Asasi Manusia, terutama yang kerap mengadvokasikan hak atas kebebasan berekspresi (freedom of expression) di Indonesia.
Adapun beberapa poin pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan ini adalah sebagai berikut:
- Hak untuk mencari, memperoleh dan menyampaikan informasi melalui internet termasuk hak yang dihormati, dilindungi dan dijamin oleh konstitusi, yaitu Pasal 28F UUD 1945, dan hak yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 19 Ayat (2) ICCPR. Dengan demikian, hak tersebut wajib dipenuhi oleh negara (lihat hal. 245-246);
- Hak untuk memperoleh dan menyampaikan informasi melalui internet dapat dibatasi, sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) DUHAM, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, Pasal 73 Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 19 ayat (3) ICCPR, yang pembatasannya mengacu kepada prinsip-prinsip pembatasan hak dalam instrumen Hak Asasi Manusia, khususnya terkait hak atas kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi, yang terdapat dalam: (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (DUHAM); (2) Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik/International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR); (3) Siracusa Principles on the Limitation and Derogation of Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights; (4) The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information; (5) The Camden Principles on Freedom of Expression and Equality; serta (6) Komentar Umum (General Comment) No. 34 ICCPR tentang Pasal 19 ICCPR yang mengatur hak atas kebebasan berekspresi (lihat hal. 247-248);
- Berdasarkan instrumen-instrumen HAM tersebut, terdapat 3 (tiga) syarat untuk menguji apakah pelambatan dan pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat oleh pemerintah telah dilakukan sesuai dengan prinsip pembatasan HAM yang diperbolehkan, yaitu:
- terpenuhi tidaknya salah satu tujuan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan hak atau nama baik pihak lain, atau untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, kesusilaan, ketertiban umum, atau kesehatan masyarakat dalam suatu masyarakat demokratis;
- pembatasan tersebut harus berdasarkan undang-undang, dan
- harus dibuktikan bahwa pembatasan tersebut diperlukan secara proporsional. (lihat hal. 249);
- Pelambatan dan pemutusan internet di Papua dan Papua Barat memenuhi syarat pertama, yaitu dilakukan sesuai dengan tuntutan atas pertimbangan keamanan dan ketertiban umum. Namun, tindakan tersebut tidak memenuhi syarat kedua dan ketiga karena tidak dilakukan berdasarkan undang-undang dan tidak dilakukan secara proporsional;
- Terkait syarat pembatasan yang harus berdasarkan undang-undang, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:
- Berdasarkan Pasal 40 Ayat (2b) UU No. 19 Tahun 2016, pemerintah pada dasarnya memiliki kewenangan untuk: (1). melakukan pemutusan akses; dan/atau (2). memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses, terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. Namun, dengan merujuk pada Penjelasan Umum alinea ke-9 UU No. 19 Tahun 2016, Majelis Hakim pada intinya berpendapat bahwa Pemerintah hanya berwenang melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses terhadap jaringan internet (lihat hal. 252-259);
- Hal ini sama dengan yang berlaku dalam Pasal 18 huruf a Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, di mana apabila terdapat penyebarluasan konten berisi pornografi, maka yang dapat dilakukan Pemerintah adalah pemutusan jaringan termasuk pemblokiran hanya terhadap konten internet yang memuat barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi, tidak dengan melakukan pemblokiran seluruh jaringan internet. Apabila pemutusan akses dilakukan terhadap seluruh jaringan internet, maka bukan hanya konten pornografi yang terputus aksesnya, tetapi konten positif dan pemenuhan hak-hak lainnya melalui internet pun akan terputus pula aksesnya (lihat hal. 258);
- Logika pembatasan Hak atas internet dalam UU No. 19 Tahun 2016 adalah sejalan dengan asas dalam hukum pidana yakni “tiada pidana tanpa kesalahan”, yaitu secara pidana hanya terhadap pihak yang melakukan penyalahgunaan internet yang bersifat melanggar hukum yang dilakukan proses pidana dan hanya terhadap hak atas internet pelaku-lah yang dibatasi, sehingga pelaku menjadi tidak lagi memiliki akses menyebarluaskan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum. UU No. 19 Tahun 2016 mengindividualisir pembatasan hak atas internet hanya terhadap pihak yang melakukan penggunaan internet secara melanggar hukum dan tidak memungkinkan pemutusan akses terhadap jaringan internet yang dapat berdampak pada terbatasinya hak asasi pihak lain yang bukan pelaku (lihat hal. 265-266);
- Tindakan pemerintah dalam memperlambat dan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat bukan lagi sekadar bentuk pembatasan (restriction) HAM, melainkan merupakan suatu bentuk pengurangan (derogation) atas HAM, sehingga tindakan tersebut harus dilaksanakan berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) ICCPR, yang mensyaratkan dapat dilakukan dalam keadaan darurat. Dalam perkara ini, Majelis Hakim menggunakan Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya untuk menguji apakah terdapat keadaan darurat tersebut sehingga pelambatan dan pemutusan akses internet telah sesuai dengan Pasal 4 Ayat (1) ICCPR. Terlebih, Majelis Hakim juga menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 13 dan Pasal 17 Ayat (1) dan (3) Perppu No. 23 Tahun 1959, Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses internet dalam keadaan bahaya sebagaimana yang diatur dalam peraturan tersebut (lihat hal. 267 dan 268);
- Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1), Pasal 2, dan Pasal 3 Ayat (1), (2), dan (3) Perppu No. 23 Tahun 1959, disebutkan bahwa pada intinya “keadaan bahaya” harus dinyatakan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang pada seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang. Selain itu, dalam penguasaan kondisi “keadaan bahaya” tersebut, Presiden/ Panglima Tertinggi Angkatan Perang dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari: (1).Menteri Pertama; (2).Menteri Keamanan/Pertahanan; (3).Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah; (4).Menteri Luar Negeri; (5).Kepala Staf Angkatan Darat; (6).Kepala Staf Angkatan Laut; (7).Kepala Staf Angkatan Udara; (8).Kepala Kepolisian Negara (lihat hal. 268-269);
- Dalam persidangan, tidak terdapat bukti yang menunjukkan Presiden pernah menetapkan keadaan bahaya di Papua dan Papua Barat, sebagaimana dahulu pernah dilakukan berdasarkan Kepres No. 88 Tahun 2000 tentang Keadaan Darurat Sipil di Propinsi Maluku dan Maluku Utara dan Kepres No. 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selain itu, tidak terdapat bukti bahwa Presiden telah membentuk badan tertentu dalam penguasaan keadaan bahaya tersebut, termasuk tidak terdapat bukti bahwa Menteri Komunikasi dan Informasi adalah salah satu pejabat yang ditunjuk menjadi bagian badan tersebut. Oleh karena itu, tindakan pemerintah dalam pelambatan dan pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat dilakukan dalam situasi yang secara hukum belum dinyatakan sebagai keadaan bahaya, sehingga bertentangan dengan aturan dalam Perppu No. 23 Tahun 1959 (lihat hal. 269-271).
- Terkait syarat pembatasan yang harus dilakukan secara proporsional, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:
- Kebebasan menyampaikan pendapat dan informasi, termasuk kebebasan pers, dengan menggunakan sarana apa saja yang dianggap tepat untuk menyampaikan pendapat dan informasi agar menjangkau sebanyak mungkin orang, merupakan hak asasi yang fundamental yang menjadi landasan hak dan kebebasan lainnya di masyarakat yang demokratis. Hal ini dikarenakan hal tersebut memungkinkan orang untuk mengaktualisasikan segenap hak dan potensinya untuk pengembangan dirinya, menyampaikan dan mengungkap kebenaran, serta berpartisipasi secara aktif dalam penyelenggaran pemerintahan agar terwujud pemerintahan yang transparan, akuntabel, responsif, efektif dan efisien (pemerintahan yang baik/good governance) (lihat hal. 270-271);
- Sebagian besar masyarakat memanfaatkan internet dengan menggunakan layanan data seluler dan bahkan hampir terdapat ketergantungan orang terhadap internet. Tindakan pemerintah dalam memperlambat dan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat telah mengakibatkan terabaikannya, bahkan terkuranginya, hak asasi pihak lain yang bukan pelaku penyalahgunaan internet, seperti kebebasan pers, di mana insan pers mengalami kesulitan dalam penayangan berita secara langsung dan melakukan verifikasi kebenaran fakta di Provinsi Papua dan Papua Barat, termasuk terganggunya sebagian aktivitas pemerintahan dan hak ekonomi masyarakat yang tergantung dari internet. Oleh karena itu, tindakan pelambatan dan pemutusan akses internet tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak proporsional dalam suasana negara yang demokratis (lihat hal. 271-272).
- Terkait dalil pemerintah yang menyatakan bahwa pelambatan dan pemutusan akses internet tersebut merupakan bentuk pelaksanaan diskresi untuk mengisi kekosongan hukum, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:
- Tujuan dilakukannya diskresi yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu: a). melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b). mengisi kekosongan hukum; c),memberikan kepastian hukum; dan d). mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum, adalah bersifat kumulatif, sehingga seluruh tujuan tersebut harus terpenuhi. Syarat pelaksanaan diskresi ini harus mengacu pada ketentuan Pasal 24 UU No. 30 Tahun 2014 yang mensyaratkan diskresi harus dilakukan untuk tujuan diskresi (Pasal 24 huruf a) dan diskresi harus dilakukan dengan tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan (Pasal 24 huruf b) (lihat hal. 261-262);
- Dalam perkara ini, tidak terdapat kekosongan hukum terkait pemutusan akses internet karena hal tersebut telah diatur dalam Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang pada intinya menyatakan Pemerintah berwenang untuk melakukan pemutusan akses internet dalam kondisi telah ditetapkannya suatu keadaan bahaya, baik di seluruh, atau sebagian wilayah Republik Indonesia (lihat hal. 272);
- Berdasarkan hal tersebut, dengan tidak terpenuhinya tujuan untuk mengisi kekosongan hukum, maka tindakan pemerintah dalam memperlambat dan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat tidak memenuhi syarat sebagai sebuah diskresi yang diatur dalam Pasal 24 huruf a UU No. 30 Tahun 2014. Selain itu, karena tindakan tersebut bertentangan dengan aturan dalam perppu No. 23 Tahun 1959, maka tindakan tersebut tidak memenuhi syarat diskresi yang diatur dalam Pasal 24 huruf b UU No. 30 Tahun 2014 (lihat hal. 272-273);
- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka, secara prosedural, tindakan pelambatan dan pemutusan akses internet tersebut bertentangan dengan Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, dan secara substansial, bertentangan dengan aturan persyaratan pembatasan HAM, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999, dan Pasal 19 ayat (3) ICCPR. Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada Perma No. 2 Tahun 2019, Majelis memutuskan bahwa tindakan pemerintah dalam memperlambat dan memutus akses internet di Papua dan Papua Barat dalam rentang waktu 14 Agustus 2019 – 9 September 2019 merupakan perbuatan melanggar hukum oleh Pejabat Pemerintahan (lihat hal. 272-273);
- Internet adalah wahana yang bersifat netral. Yang menjadikan internet tidak netral adalah pengguna dan penggunaannya. Dalam hal terjadi penyalahgunaan internet melalui penyebarluasan konten atau muatan yang melanggar hukum, maka tindakan yang tepat dan proporsional adalah pembatasan (restriction) dalam bentuk pemutusan akses internet hanya terhadap muatan/konten yang dianggap melanggar hukum serta dilakukan proses hukum terhadap pelakunya, bukan terhadap keseluruhan jaringan internet. Hal ini dikarenakan pemutusan seluruh jaringan internet akan menimbulkan dampak negatif yang lebih besar berupa terabaikannya hak-hak asasi lainnya yang dapat diwujudkan secara positif melalui internet. Selain itu, sebagaimana hak-hak asasi manusia lainnya, hak atas internet hanya dapat dilakukan pengurangan (derogation) dalam bentuk pemutusan terhadap jaringan internet apabila terdapat keaadan bahaya/darurat negara yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku (lihat hal. 273-274);
Secara kualitas, putusan ini patut diapresiasi dan layak ditiru oleh para Hakim di Indonesia dalam memutus perkara. Hal ini tidak terlepas dari kemampuan Majelis Hakim dalam memadukan berbagai prinsip Hak Asasi Manusia, khususnya yang terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan hak untuk memperoleh informasi, dengan aturan-aturan hukum Indonesia sebagai dasar pertimbangan yang utuh dalam menjatuhkan putusan. Putusan ini menunjukkan bahwa aturan hukum yang berlaku di Indonesia dan prinsip-prinsip HAM yang berlaku secara universal dapat digunakan secara bersamaan dan tidak perlu dibenturkan satu sama lain. Putusan ini juga membuktikan bahwa pengadilan di Indonesia mampu memadumadankan 2 (dua) hal tersebut menjadi sebuah pertimbangan hukum yang berkualitas, yang pada akhirnya meningkatkan kewibawaan pengadilan itu sendiri.