Dalam beberapa tahun terakhir terjadi kemunduran yang serius dalam perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berekspresi di Indonesia, ditandai dengan menyempitnya ruang kebebasan dan keberagaman beragama dan keyakinan. Pasal-pasal penodaan agama (blasphemy), sering digunakan untuk mendakwa dan memidanakan anggota kelompokagama minoritas dan keyakinan berdasarkan tradisi. Laporan Amnesty International menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2005-2014, 39 orang telah dipidana dalam kasuspenodaan agama di Indonesia dan semuanya menghadapi pidana pemenjaraan antara 5 bulan hingga 6 tahun.
Berlatar belakang kondisi tersebut, sejak September 2018 hingga April 2018, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) dengan dukungan The Royal Norwegian Embassy telah melakukan penelitian terkait kerangka hukum, penafsiran dan penerapan Pasal 156a huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentangpenodaan agama. Salah satu hasil penelitian tersebut menemukan bahwa pengaturan Pasal 156a KUHP kurang memadai dalam menjelaskan unsur-unsur suatu perbuatan sebagaipenodaan agama. Selain itu, analisa terhadap penerapan Pasal 156a KUHP juga menujukkan adanya inkonsistensi, di mana dalam sejumlah kasus pasal tersebut diterapkan, namun untuk sebagian besar lainnya diterapkan pada perbuatan yang terkait masalah-masalah agama, yang bahkan tidak dapat memenuhi unsur-unsur penodaan agama.
Maka pada 9 – 11 Juli 2018, LeIP menyelenggarakan “Pelatihan Penerapan Pasal Penodaan Agama Berdasarkan Prinsip Hak Asasi Manusia” bersama Hakim-hakim yang telah ditunjuk oleh Badilum MA RI. Selama 3 (tiga) hari, pelatihan tersebut difasilitasi oleh trainer-trainer pilihan, diantaranya:
7. Dr. H. Zain Badjeber (Mantan Anggota DPR RI)
10. Papang Hidayat, MA. (Peneliti Amnesty Internasional)