Oleh: Nur Syarifah [1]
- Pengantar
Pidana pembayaran uang pengganti pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Instrumen ini kemudian diteruskan dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 (UU 3/1971) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (UU 31/1999) tentang Pemberantasan Tipikor jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 (UU 20/2001) yang menyebutkan bahwa pidana pembayaran uang pengganti merupakan salah satu pidana tambahan dalam perkara korupsi selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).[2]
Meski telah diakui lama dalam hukum pidana Indonesia, namun eksekusi pembayaran uang pengganti masih tersendat-sendat. Merujuk pada data Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), tingkat penyelesaian uang pengganti hanya berkisar 31.38% dari keseluruhan uang pengganti yang diputus pengadilan.[3] Di tahun 2005 misalnya, tunggakan pembayaran uang pengganti di seluruh Indonesia mencapai Rp.5 trilyun.[4] Jumlah ini semakin meningkat di tahun 2009, menjadi 8,15 triliun rupiah.[5]
Tersendatnya eksekusi pembayaran uang pengganti terjadi karena berbagai sebab. Salah satunya karena minimnya aturan mengenai pembayaran uang pengganti. Sehingga menimbulkan kerancuan dan inkonsistensi pada implementasinya. Sebagaimana diketahui UU 31/1999 jo. UU 20/2001 hanya mengatur pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam satu pasal, yaitu Pasal 18, dengan poin-poin aturan yang hanya mencakup 3 (tiga) hal, yaitu: pertama, bagaimana menghitung besaran uang pengganti; kedua, kapan uang pengganti selambatnya dibayarkan; dan ketiga, bagaimana konsekuensinya jika uang pengganti tidak dibayar.
Tulisan ini mengupas beberapa permasalahan terkait dengan pembayaran uang pengganti, antara lain: (1) ketidakjelasan tujuan pembayaran uang pengganti; (2) rumitnya menghitung uang pengganti; (3) dualisme penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan; (4) misinterpretasi pidana penjara pengganti dan komitmen jaksa eksekutor; (5) disparitas lamanya pidana penjara pengganti; dan (6) tidak optimalnya kebijakan penyitaan dalam perkara tipikor. Seluruh pendapat penulis yang terdapat dalam tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili institusi manapun.
Ketidakjelasan Tujuan Pembayaran Uang Pengganti
Salah satu unsur tipikor di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 adalah adanya kerugian keuangan negara. [6] Unsur tersebut memberi konsekuensi bahwa pemberantasan tipikor tidak hanya bertujuan untuk membuat jera para koruptor melalui penjatuhan pidana penjara yang berat, melainkan juga memulihkan keuangan negara akibat korupsi, sebagaimana ditegaskan dalam Konsiderans dan Penjelasan Umum UU 31/1999. Oleh UU, instrumen untuk memulihkan keuangan negara tersebut dimasukkan dalam pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Mengutip Paragraf 8 Penjelasan UU 31/1999 “….UU ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.” Rumusan tersebut menyuratkan bahwa uang pengganti bertujuan untuk mengganti kerugian negara.
Namun, benarkah pembayaran uang pengganti bertujuan untuk mengganti kerugian negara?. Jika kita melihat rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU 31/1999 jo. UU 20/2010 disebutkan bahwa pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Rumusan tersebut menyiratkan bahwa penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti bertujuan untuk merampas harta hasil korupsi, dan bukan untuk mengganti kerugian negara.
Adanya perbedaan makna tujuan pidana pembayaran uang pengganti antara yang dimaksud dalam penjelasan UU dengan rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf b menyebabkan tidak jelasnya tujuan pembayaran uang pengganti. Ketidakjelasan ini juga berdampak pada dualisme penerapan penghitungan nilai uang pengganti sebagaimana terlihat dalam beberapa putusan Mahkamah Agung (MA) berikut ini:
No. | Putusan | Penerapan Penghitungan Uang Pengganti | Tujuan Pembayaran Uang Pengganti |
1. | 2327 K/Pid.Sus/2012[7] | Berdasarkan harta hasil korupsi yang dinikmati | Merampas harta hasil korupsi |
2. | No. 161 K/Pid.Sus/2008[8] | Berdasarkan harta hasil korupsi yang dinikmati | Merampas harta hasil korupsi |
3. | No. 1554 K/Pid/2006[9] | Berdasarkan harta hasil korupsi yang dinikmati | Merampas harta hasil korupsi |
4. | 1559 K/Pid.Sus/2012[10] | Berdasarkan harta hasil korupsi yang dinikmati | Merampas harta hasil korupsi |
5. | 2631 K/Pid.Sus/2009[11] | Berdasarkan kerugian negara | Mengganti kerugian negara |
6. | 1537 K/Pid.Sus/2013[12] | Berdasarkan kerugian negara | Mengganti kerugian negara |
Rumitnya Menghitung Uang Pengganti
Dualisme penerapan penghitungan nilai uang pengganti pada kenyataannya juga berjalin kelindan dengan rumitnya menghitung uang pengganti. Sebagaimana telah disebutkan di atas, nilai uang pengganti sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU 31/1999 jo. UU 20/2001 adalah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi.[13] Rumusan sederhana tersebut pada kenyataannya tidaklah sederhana dalam penghitungan. Jika uang pengganti diartikan untuk merampas harta hasil korupsi, maka untuk menghitung nilai harta yang diperoleh dari korupsi, baik yang masih dikuasai maupun yang sudah dialihkan, harus lebih dulu dipilah bagian keseluruhan harta terdakwa yang berasal dari korupsi dan yang bukan.[14]
Pemilahan ini pada kenyataannya juga tidak mudah dilaksanakan. Selain membutuhkan keahlian khusus serta data dan informasi yang lengkap juga dibutuhkan kecermatan yang tinggi dan dukungan birokrasi diplomatik (dalam hal harta hasil korupsi berada di luar negeri). Hal ini mengingat perkara korupsi merupakan perkara yang kompleks. Kompleksitas tersebut antara lain terlihat dari jumlah pelaku yang pada umumnya lebih dari seorang dan berasal dari kalangan intelektual atau berkedudukan penting sehingga dapat dengan mudah mengalihkan atau menyembunyikan harta hasil korupsi melalui berbagai layanan transaksi keuangan dan/atau perbankan. Selain itu, lamanya pengungkapan perkara korupsi juga menyulitkan pelacakan harta hasil korupsi yang telah beralih bentuk maupun kepemilikan.
Kerumitan tersebut pada akhirnya mendorong penyidik dan penuntut umum menetapkan nilai uang pengganti berdasarkan hal yang lebih mudah diukur atau dihitung, yaitu berdasarkan besaran kerugian negara yang ditimbulkan. Hal ini sebagaimana diakui oleh Yoseph Suardi Sabda (mantan Direktur Perdata pada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan TUN Kejaksaan Agung),[15] dan dalam hal ini uang pengganti telah diartikan bertujuan untuk mengganti kerugian negara. Meski tidak ada metode baku yang digunakan dalam menghitung kerugian negara tersebut, namun pada praktiknya akuntan forensik lebih banyak menggunakan penghitungan harga yang wajar. Penghitungan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam perkara korupsi Negara dirugikan akibat transaksi yang tidak wajar, baik dalam transaksi pembelian maupun pelepasan dan pemanfaatan barang, sehingga harga wajar menjadi pembanding untuk “harga realisasi” dan kerugian Negara dihitung dari selisih harga tidak wajar dengan harga realisasi.[16]
Meski lebih mudah, bukan berarti penghitungan nilai uang pengganti berdasarkan besaran kerugian negara tidak beresiko. Resiko pertama adalah kemungkinan besaran yang tidak sama antara harta hasil korupsi dengan kerugian negara yang ditimbulkan. Hal ini dapat terjadi mengingat sistem pembukuan keuangan yang digunakan Kejaksaan belum mengadopsi Sistem Akuntansi Instansi yang disusun oleh Kementrian Keuangan,[17] sehingga jumlah uang pengganti yang dihitung oleh masing-masing institusi dapat saja berbeda sebagaimana terjadi dalam perkara korupsi dengan terdakwa mantan Bupati Kepulauan Riau Huzrin Hood.[18]
Resiko berikutnya adalah jika korupsi dilakukan secara penyertaan, di mana untuk menghitung besaran harta hasil korupsi pada masing-masing terdakwa sangat membingungkan. Dalam praktiknya, besaran uang pengganti dalam perkara korupsi yang dilakukan secara bersama-sama (penyertaan) ditetapkan berdasarkan dua model pembebanan, yaitu secara:[19] (1) tanggung renteng; dan (2) proporsional. Dalam model pembebanan secara tanggung renteng setiap terdakwa wajib memenuhi hukuman tersebut, dan sesuai konsep keperdataan apabila salah satu dari terdakwa telah melunasi sejumlah uang pengganti maka kewajiban terdakwa lain gugur secara otomatis.
Sedangkan dalam model pembebanan secara proporsional besaran uang pengganti dibebankan secara definitif oleh majelis hakim kepada masing-masing terdakwa sesuai dengan kontribusinya. Meski demikian, dalam hal penuntutan, Jaksa Agung telah menginstruksikan kepada penuntut umum untuk hanya menerapkan model pembebanan secara proporsional saja agar memberikan kepastian hukum dan menghindari kesulitan dalam eksekusi sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) No. B-28/A/Ft.1/05/2009 tentang Petunjuk Kepada Jaksa Penuntut Umum Dalam Membuat Surat Tuntutan.[20]
Dualisme Penjatuhan Pidana Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan
Dualisme tidak hanya terjadi dalam penghitungan nilai uang pengganti dan tujuan pembayaran uang pengganti, tetapi juga dalam penerapan penjatuhan pidananya. Sesuai dengan namanya, yaitu “tambahan,” pidana tambahan bersifat fakultatif dengan konsekuensi bahwa pidana tersebut dapat dijatuhkan tetapi tidak wajib. Hakim bebas memutuskan apakah pidana tambahan dijatuhkan atau tidak,[21] kecuali dalam beberapa pasal tertentu.[22] Namun yang terjadi dalam beberapa putusan kasasi tipikor tidaklah demikian. Sebut misalnya putusan kasasi nomor 2631 K/Pid.Sus/2009,[23] yang menafsirkan pembayaran uang pengganti sebagai hal yang wajib, di mana judex facti telah salah menerapkan hukum, salah satunya karena judex facti tidak membebankan pidana pembayaran uang pengganti kepada terdakwa.
Penerapan yang berbeda terdapat dalam putusan kasasi nomor 161 K/Pid.Sus/2008 yang menafsirkan pembayaran uang pengganti sebagai fakultatif.[24] Dalam putusan tersebut majelis hakim berpendapat: (a) bahwa dari Pasal 17 UU 20/2001 jo UU 31/1999 dapat disimpulkan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak bersifat imperatif, mengingat Pasal 17 tersebut menentukan “Selain dapat dijatuhkan pidana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa “dapat” dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;” (b) bahwa oleh karena itu, “dijatuhkan tidaknya pidana tambahan pembayaran uang pengganti” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf (b) adalah merupakan kewenangan hakim/diskresi hakim, bukan merupakan suatu “keharusan“ dan “tidak bersifat imperartif” sebagaimana dapat disimpulkan dari kata “dapat”, dengan kata lain hal tersebut “bersifat fakultatif.”[25]
Dualisme dalam penjatuhan uang pengganti sebagai pidana tambahan telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain menciderai rasa keadilan, ketidakpastian hukum ini juga membuat alur perkara ke Mahkamah Agung semakin bertambah. Padahal, sebagai pengadilan kasasi Mahkamah Agung (MA) memiliki fungsi utama menjaga kesatuan hukum dan penerapan hukum.
Misinterpretasi Pidana Penjara Pengganti dan Komitmen Jaksa Eksekutor
Komitmen jaksa merupakan ujung tombak tegaknya eksekusi pidana. Hal ini membawa konsekuensi pada komitmen jaksa eksekutor selaku pelaksana putusan pidana. Pertama, komitmen dalam memaknai Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU 31/1999 jo UU 20/2001. Pasal tersebut jelas menegaskan bahwa jika dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dan jika terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya.., dst.
Pidana uang pengganti tidak memiliki pidana alternatif (subsidiair) seperti pidana denda yang dapat disubsidiair dengan pidana kurungan,[26] dan karenanya bukan menjadi kesempatan bagi terpidana untuk memilih pidana mana yang akan dijalankannya.[27] Parahnya, rumusan tersebut oleh Kejaksaan justru dimaknai sebagai sebuah pilihan. Hal ini sebagaimana diakui oleh Direktur Upaya Hukum dan Eksekusi Kejaksaan Agung Puji Basuki yang menegaskan bahwa penggunaan kata “subsider” pada pidana penjara pengganti dimaknai jaksa penuntut umum sebagai sebuah pilihan.[28] Pendapat sejalan juga diadopsi dalam peraturan internal Kejaksaan yaitu dalam Keputusan Jaksa Agung (Kepja) Nomor KEP-518/J.A/11/2001. Dalam Kepja tersebut disebutkan bahwa salah satu tahapan eksekusi uang pengganti adalah menanyakan sanggup tidaknya terpidana membayar uang pengganti. Kalimat “menanyakan sanggup tidaknya terpidanya membayar uang pengganti” tersebut jelas menegaskan bahwa terpidana dapat memilih antara menyatakan sanggup atau tidak sanggup membayar uang pengganti.
Pemilihan ini jelas telah menyimpang dari arti subsider yang sebenarnya, yaitu dari sebuah pengganti apabila hal pokok tidak terjadi, menjadi sebuah pilihan. Kondisi ini pun pada akhirnya dimanfaatkan oleh para terpidana -yang didukung dengan kondisi dan keterbatasan penanganan perkara korupsi- untuk dapat dengan mudahnya mengaku tidak lagi mempunyai harta untuk membayar uang pengganti, dan “memilih” pidana penjara pengganti sebagai yang lebih menguntungkan baginya, terlebih didukung dengan adanya kemungkinan terpidana bebas lebih cepat karena pemberian remisi pada waktu-waktu tertentu. Jika penjatuhan uang pengganti dianggap sebagai sebuah pilihan, maka upaya memulihkan keuangan Negara sebagai tujuan penegakan tindak pidana korupsi tidak akan tercapai.
Kedua, komitmen dalam melaksanakan eksekusi. Hal ini dapat dilihat dari adanya pengajuan fatwa oleh Kejaksaan kepada MA untuk mendapat payung hukum dalam mengeksekusi uang pengganti yang tidak dibayar atau baru dibayar sebagian.[29] Pengajuan fatwa ini mengesankan Kejaksaan ragu melaksanakan eksekusi meski rumusan Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU 31/1999 sudah jelas dan tegas mengaturnya. Jika yang menjadi keraguan jaksa dalam hal ini adalah berapa lama pidana penjara pengganti tersebut dijalankan karena uang pengganti yang dibayar hanya sebagian, maka keraguan tersebut tidak menunda eksekusi dan terpidana segera dimasukan dalam penjara.
Payung hukum eksekusi dalam hal ini adalah Pasal 18 UU 31/1999 dan bukan fatwa MA. Eksekusi uang pengganti juga tidak memerlukan gugatan tersendiri, sebab pidana tambahan uang pengganti merupakan satu kesatuan putusan pidana yang dijatuhkan majelis hakim, di mana wewenang untuk mengeksekusi setiap putusan pidana, baik pidana pokok maupun tambahan berada pada jaksa penuntut umum. Diperlukannya fatwa MA sepatutnya bukan dalam rangka melaksanakan eksekusi melainkan sebagai payung hukum berapa lama pidana penjara pengganti akan dijalankan jika uang pengganti telah dibayar sebagian, di mana hingga saat ini tidak diatur dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001 maupun peraturan turunan lainnya.
Disparitas Lamanya Pidana Penjara Pengganti
Ketiadaan acuan dalam merumuskan pidana penjara pengganti dalam hal uang pengganti tidak dibayar dalam jangka waktu tertentu telah menimbulkan banyak disparitas dalam penjatuhan lamanya pidana penjara pengganti. Disparitas tersebut sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:[30]
UANG PENGGANTI DI BAWAH RP.100 JUTA | ||
Nomor Perkara | Uang Pengganti | Pidana Penjara Pengganti |
50 K/Pid.Sus/2010 | Rp.2.800.000 | 12 bulan |
2488 K/Pid.Sus/2010 | Rp.6.742.000 | 2 bulan |
983/K/Pid.Sus/2010 | Rp. 8.842.750 | 2 bulan |
266 K/Pid.Sus/2010 | Rp.10.000.000 | 1 bulan |
25 K/Pid.Sus/2010 | Rp.10.900.000 | 3 bulan |
2501 K/Pid.Sus/2010 | Rp.12.055.000 | 12 bulan |
863 K/Pid.Sus/2010 | Rp.13.000.000 | 1 bulan |
2247 K/Pid.Sus/2010 | Rp.14.976.226 | 1 bulan |
2485 K/Pid.Sus/2010 | Rp.17.500.000 | 6 bulan |
2490 K/Pid.Sus/2010 | Rp.22.393.400 | 1 bulan |
2562 K/Pid.Sus/2010 | Rp.22.878.788 | 3 bulan |
288 K/Pid.Sus/2010 | Rp.23.000.000 | 1 bulan |
313 K/Pid.Sus/2010 | Rp.24.600.000 | 2 bulan |
1065 K/Pid.Sus/2010 | Rp.34.795.681 | 1 bulan |
9 K/Pid.Sus/2010 | Rp.45.000.000 | 6 bulan |
2673 K/Pid.Sus/2010 | Rp.46.096.000 | 3 bulan |
711 K/Pid.Sus/2010 | Rp.48.670.000 | 6 bulan |
2629 K/Pid.Sus/2010 | Rp.48.753.170 | 2 bulan |
1072 K/Pid.Sus/2010 | Rp.52.439.720 | 1 bulan |
1022 K/Pid.Sus/2010 | Rp.64.000.000 | 4 bulan |
2246 K/Pid.Sus/2010 | Rp.67.500.000 | 9 bulan |
1099 K/Pid.Sus/2010 | Rp.74.945.000 | 1 bulan |
719 K/Pid.Sus/2010 | Rp.76.140.000 | 6 bulan |
293 K/Pid.Sus/2010 | Rp.77.874.250 | 3 bulan |
40 K/Pid.Sus/2010 | Rp.82.313.550 | 2 bulan |
UANG PENGGANTI ANTARA RP.100 JUTA HINGGA RP.1 MILYAR |
|||
Nomor Perkara | Uang Pengganti | Pidana Penjara Pengganti | |
746 K/Pid.Sus/2010 | Rp.115.381.189 | 6 bulan | |
17 K/Pid.Sus/2010 | Rp.148.145.833 | 2 bulan | |
2790 K/Pid.Sus/2010 | Rp.150.000.000 | 3 bulan | |
1087 K/Pid.Sus/2010 | Rp.150.000.000 | 5 bulan | |
2360 K/Pid.Sus/2010 | Rp.155.935.089 | 15 bulan | |
2338 K/Pid.Sus/2010 | Rp.267.674.933 | 12 bulan | |
73 K/Pid.Sus/2010 | Rp.296.122.512 | 4 bulan | |
2589 K/Pid.Sus/2010 | Rp.350.250.000 | 12 bulan | |
1082 K/Pid.Sus/2010 | Rp.353.179.475 | 6 bulan | |
22 K/Pid.Sus/2010 | Rp.371.025.000 | 6 bulan | |
2327 K/Pid.Sus/2010 | Rp.419.856.498 | 5 bulan | |
61 K/Pid.Sus/2010 | Rp.476.000.000 | 3 bulan | |
11 K/Pid.Sus/2010 | Rp.599.550.000 | 8 bulan | |
20 K/Pid.Sus/2010 | Rp.673.101.293 | 6 bulan | |
1/K/Pid.Sus/2010 | Rp.681.045.454 | 6 bulan | |
UANG PENGGANTI DI ATAS RP.1 MILYAR |
|||
Nomor Perkara | Uang Pengganti | Pidana Penjara Pengganti | |
4 K/Pid.Sus/2010 | Rp.1.250.000.000 | 24 bulan | |
2274 K/Pid.Sus/2010 | Rp.1.652.693.000 | 12 bulan | |
793 K/Pid.Sus/2010 | Rp.1.349.475.498 | 12 bulan | |
29 K/Pid.Sus/2010 | Rp.2.000.000.000 | 12 bulan | |
2190 K/Pid.Sus/2010 | Rp.5.890.125.000 | 18 bulan | |
754 K/Pid.Sus/2010 | Rp.6.086.328.000 | 36 bulan | |
275 K/Pid.Sus/2010 | Rp.10.656.500.000 | 24 bulan | |
655 K/Pid.Sus/2010 | Rp.378.116.230.813 | 12 bulan | |
Disparitas ini memperlihatkan bahwa penjatuhan uang pengganti dalam jumlah besar tidak serta merta diikuti dengan pidana penjara pengganti dalam waktu yang sepadan dengan nilai uang pengganti, begitu pula sebaliknya. Jika uang pengganti yang dijatuhkan cukup besar namun penjara pengganti yang ditetapkan tidak terlalu besar maka terdapat celah permainan antara jaksa eksekutor dengan terpidana untuk berkolusi agar harta hasil korupsi tidak dieksekusi namun langsung dikonversi menjadi pidana pengganti. Hal ini mengingat dalam perkara yang pidana penjara penggantinya tidak sepadan dengan nilai uang pengganti, akan lebih ekonomis untuk terpidana jika ia menjalani pidana penjara pengganti tersebut dibanding membayar uang pengganti.
Tidak Optimalnya Dukungan Kebijakan Penyitaan Dalam Perkara Tipikor
Selain melalui pembayaran uang pengganti, pemulihan keuangan negara akibat korupsi melalui instrumen pidana juga dapat dilakukan melalui penyitaan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU No.31/1999 jo. UU 20/2001.[31] Sesuai pasal tersebut penyitaan dilakukan: (1) terhadap harta yang bukan/tidak digunakan untuk melakukan korupsi dan/atau hasil korupsi; (2) bersifat fakultatif, yaitu baru dapat dilakukan jika dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap uang pengganti tidak dibayar. Penyitaan ini tidak membutuhkan izin Ketua Pengadilan karena dilakukan dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan,[32] dan dilakukan terhadap barang-barang terpidana yang masih ada, kecuali atas barang-barang yang dipakai sebagai penyangga mencari nafkah dan keluarganya.[33]
Skema penyitaan menurut Pasal 18 ayat (2) UU No.31/1999 jo. UU 20/2001 ini berbeda dengan skema penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyitaan yang diatur dalam Pasal 39 KUHAP dilakukan terhadap harta benda yang diperoleh atau digunakan dalam melakukan tindak pidana dalam rangka penyidikan tindak pidana, bukan dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan dan untuk melaksanakannya membutuhkan izin Ketua Pengadilan.[34] Penyitaan menurut skema Pasal 39 KUHAP dalam perkara korupsi disebut perampasan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) butir a UU 31/1999.
Untuk memudahkan pemahaman, cakupan dan dasar hukum dari masing-masing tindakan adalah sebagai berikut:
Pasal | Tindakan | Objek |
Pasal 18 ayat 2 UU 31/1999 | Penyitaan dan lelang
(hanya berlaku jika uang pengganti tidak dibayar) |
Yang tidak digunakan untuk melakukan korupsi dan/atau bukan hasil korupsi
|
Pasal 39 ayat 1 KUHAP | Penyitaan | Yang digunakan untuk melakukan tindak pidana dan/atau hasil tindak pidana |
Pasal 18 ayat 1 butir a UU 31/1999 | Perampasan | Yang digunakan untuk melakukan korupsi dan/atau hasil korupsi |
Pasal 18 ayat 1 butir b UU 31/1999 | Pembayaran uang pengganti | Hasil korupsi |
Namun lagi-lagi, karena keterbatasan kebijakan dan kompleksitas perkara korupsi, skema penyitaan menurut Pasal 18 pada praktiknya tidak terlalu efektif. Pertama, penyitaan (dan pelelangan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) UU 31/1999 hanya atau baru dapat dilakukan terhadap harta yang tidak digunakan untuk melakukan korupsi dan/atau bukan hasil korupsi jika terpidana tidak membayar uang pengganti.
Keberadaan SEMA Nomor 4 Tahun 1988 tentang Eksekusi Terhadap Pembayaran Uang Pengganti pun tidak mampu mengatasi hal ini. Sebab SEMA tersebut menyatakan jika harta terpidana tidak mencukupi pembayarang uang pengganti, sisa pembayaran uang pengganti ditagih Kejaksaan melalui gugatan perdata di pengadilan.[35] Padahal, sebagaimana telah disinggung di atas, perkara korupsi umumnya baru dapat diungkap setelah sekian lama, di mana harta hasil korupsi telah beralih bentuk maupun pemilik sehingga sulit ditelusuri dan dijangkau hukum. Sementara perampasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) butir a UU 31/1999 hanya berlaku terhadap harta yang digunakan untuk melakukan korupsi dan/atau hasil korupsi.
Terdakwa dapat dengan mudah mengubah bentuk maupun kepemilikan hartanya, baik yang digunakan atau diperoleh dari korupsi maupun yang tidak, hingga ketika jatuh tempo pembayaran uang pengganti ada tidak satupun harta yang dapat disita atau dirampas penyidik atau penuntut umum. Kedua, bagaimana jika putusan pengadilan memerintahkan penyitaan (dan pelelangan) namun putusan tersebut tidak merinci harta mana saja yang disita. Ditambah lagi resiko adanya perlawanan dari pihak ketiga karena harta yang disita telah beralih bentuk maupun pemilikan untuk menghindari jangkauan hukum.
Alternatif Terobosan Untuk Mengoptimalkan Pembayaran Uang Pengganti
Merujuk pada uraian di atas dapat dilihat bahwa sebab utama kemandekan eksekusi pembayaran uang pengganti pada kenyataannya disebabkan oleh faktor kebijakan, disamping komitmen penegak hukum. Untuk mengoptimalkan pembayaran uang pengganti tersebut diperlukan perubahan dan/atau penyempurnaan kebijakan dalam penanganan perkara korupsi sebagai berikut:
- Menyeragamkan tujuan pembayaran uang pengganti dan acuan dalam menetapkan uang pengganti. Penyeragaman ini perlu ditegaskan dalam UU Tipikor agar tidak menimbulkan kerancuan dan dualisme dalam penerapannya. Dalam hal ini penulis lebih condong pada tujuan dan acuan yang didasarkan pada faktor kerugian negara, dibandingkan harta hasil korupsi yang dinikmati, dengan pertimbangan menghindari kesulitan dalam pemilahan harta dan kemudahan dalam penghitungan.
- Menetapkan acuan dalam menghitung pidana penjara pengganti dalam hal uang pengganti tidak dibayar atau dibayar sebagian oleh terpidana. Acuan tersebut saat ini memang tengah digodok oleh Kamar Pidana MA. Salah satu usulan dalam acuan tersebut adalah dalam hal uang pengganti dibayar sebagian maka pidana penjara pengganti dihitung dengan rumusan sebagai berikut: total uang pengganti yang harus dibayar dikurangi uang pengganti yang sudah dibayar, kemudian dibagi dengan total uang pengganti yang harus dibayar dan dikalikan pidana penjara pengganti yang telah ditetapkan dalam putusan.[36] Usulan ini cukup proporsional dan adil untuk dipertimbangkan. Sedangkan dalam hal uang pengganti tidak dibayar seluruhnya, penulis mengusulkan agar pidana penjara pengganti ditetapkan sesuai range kelasnya, di mana semakin besar uang pengganti, maka semakin lama pidana penjara penggantinya. Usulan kelas tersebut adalah sebagai berikut:
No. | Range Kelas Uang Pengganti | Usulan Pidana Penjara Pengganti |
1. | <100 juta | 2 tahun |
2. | 100 juta – 500 juta | 3 – 5 tahun |
3. | 500 juta – 1 miliar | 5 – 10 tahun |
4. | 1 miliar – 5 miliar | 10 tahun – 15 tahun |
5. | > 5 miliar | > 15 tahun |
- Mengubah ketentuan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 2 UU 31/1999 dari yang semula baru dapat dilaksanakan jika uang pengganti tidak dibayar menjadi dapat dilaksanakan sejak tahap penyidikan. Hal ini untuk menjaga agar harta agar tidak dialihkan atau tidak terlacak sehingga memudahkan jaksa memohon sita jaminan. Perihal sita jaminan ini pernah diadopsi dalam putusan kasasi nomor 2190 K/Pid.Sus/2010.[37] Dalam putusan tersebut majelis hakim menetapkan sebuah rumah yang tidak terkait dengan perkara sebagai jaminan pembayaran uang pengganti. Pertimbangan tersebut menurut penulis diambil majelis hakim dengan merujuk pada Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menetapkan bahwa segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Dalam perkara ini terpidana dianalogikan sebagai debitur dan pembayaran uang pengganti dianalogikan sebagai perikatan yang harus dipenuhi terpidana. Hal ini memberi konsekuensi bahwa harta benda terpidana baik yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan pelunasan pembayaran uang pengganti. Putusan ini merupakan terobosan untuk mengefektifkan pembayaran uang pengganti sekaligus menegaskan bahwa MA mengakui konsep sita jaminan dalam perkara korupsi sebagai instrumen untuk menjamin terlaksananya pidana pembayaran uang pengganti. Meski pada praktiknya pengadilan (dalam hal ini MA-melalui putusan sebagaimana dimaksud di atas) menerima sita jaminan sebagai jaminan pelunasan uang pengganti tanpa perlu menunggu lunasnya uang pengganti, namun untuk menghindari adanya perlawanan dari pihak ketiga maka sita jaminan perlu dikuatkan sedini mungkin dalam kebijakan (UU Tipikor), yaitu sejak tahap penyidikan.
- Meluruskan kembali sifat dan makna pidana tambahan yang melekat dalam pidana pembayaran uang pengganti untuk menghindari misinterpretasi dalam memahami dan menjatuhkan pidana uang pengganti, serta menyebabkan keragu-raguan dalam mengeksekusi uang pengganti. Pelurusan ini dilakukan melalui putusan pengadilan yang konsisten dan perbaikan kebijakan internal yang lebih memperlihatkan komitmen penegak hukum.
- Menyeramkan sistem administrasi keuangan yang berlaku di Kejaksaan dengan sistem Akutansi Instansi yang disusun Kementrian Keuangan untuk mencegah adanya selisih penghitungan kerugian negara oleh masing-masing instansi. Inisiatif penyeragaman ini tentunya harus dimulai oleh institusi Kejaksaan dan Kementrian Keuangan melalui mekanisme komunikasi dan koordinasi yang solid.
[1] Peneliti pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Tulisan ini dibuat sebelum lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2014 Nomor tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti pada Perkara Korupsi.
[2] Pasal 18 ayat (1) UU 31 Tahun 1999 jo. UU 20/2001, selain pidana pembayaran uang pengganti pidana tambahan lain selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP yang diatur dalam UU ini adalah: (a) perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana, atau barang yang menggantikan barang-barang tersebut; (b) penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun; dan (c) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
[3] Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Jakarta, Solusi Publishing, 2010, hal. 43.
[4] Mungki Hadipratikto, Eksekusi Putusan Pidana Uang Pengganti dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Hukum NESTOR Universitas Tanjungpura.
[5] Novia Chandra Dewi, Uang Pengganti Kurang karena Koruptor Pilih Jalani hukuman Subsider, ditulis berdasarkan Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I Tahun 2009, diunduh dari website http://www.detiknews.com, diakses pada 9 September 2012.
[6] Kerugian negara/daerah menurut Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
[7] Lihat lebih lanjut dalam http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/afd0cebc6181d9c0a51ad765273c9e19.
[8] Lihat lebih lanjut dalam http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/fdf708c524a1ab04dbae6ca9b56791f5.
[9] Lihat lebih lanjut dalam http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/e211c09d80b28af9c0c756312d0823c5.
[10] Lihat lebih lanjut dalam http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/d6170623d68793071b2bd0cf17393869.
[11] Lihat lebih lanjut dalam http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/d95cca03934885fe39baee3bdb7fb52d.
[12] Lihat lebih lanjut dalam http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/14dbb785ac0f460506617281744785.
[13] Rumusan yang sama juga dipakai dalam Pasal 34 huruf c UU 3/1971.
[14] Efi, Op. Cit., hal. 74.
[15] Michael Barama, S.H., M.H., Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Perkara Korupsi, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2011, hal. 22.
[16] Efi, Op. cit., hal. 72-73.
[17] Ibid., hal.35.
[18] Dalam kasus tersebut, jumlah kerugian negara menurut penghitungan Badan Pemeriksa Keuangan adalah sebesar Rp 87,2 miliar. Sedangkan menurut Kejaksaan Tinggi Riau hanya sebesar Rp 4,3 miliar.
[19] Barama, Op. cit., hal. 22-23
[20] SEJA tersebut menyebutkan bahwa besaran uang pengganti yang dibebankan kepada masing-masing terdakwa harus disebutkan secara jelas dan pasti dalam amar tuntutan dan tidak boleh disebutkan secara tanggung renteng. Jika harta hasil korupsi tidak diketahui secara pasti jumlahnya, maka besaran uang pengganti kepada masing-masing terdakwa ditentukan dengan berpedoman kepada kualifikasi turut serta sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHAP.
[21] Sebagaimana terjadi dalam perkara korupsi proyek pengadaan alat driving simulator untuk kendaraan bermotor roda dua dan empat di Korlantas Polri tahun 2011 dengan terdakwa Irjen.Pol. Djoko Susilo, di mana dalam putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak ada pidana pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan kepada terdakwa. Lihat http://www.beritasatu.com/nasional/135955-dibebaskan-bayar-uang-pengganti-jaksa-sesalkan-keputusan-hakim.html.
[22] Yaitu Pasal 250 bis, Pasal 261 dan Pasal 275 Kitab KUHP. Dalam pasal-pasal tersebut pidana tambahan tersebut bersifat imperatif.
[23] Lihat lebih lanjut dalam http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/d95cca03934885fe39baee3bdb7fb52d.
[24] Putusan senada lainnya adalah putusan nomor 40 K/Pid/2006. Dalam putusan tersebut majelis hakim berpendapat judex facti salah menerapkan hukum mengenai hukuman tambahan oleh karena masing-masing terdakwa baru mengkonsinyasikan/menitipkan uang pada Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Banten yang sewaktu-waktu masih dapat ditarik kembali, dan oleh sebab itu para terdakwa dianggap belum mengembalikan uang kerugian negara tersebut, sehingga dapat dikenakan hukuman tambahan sebagaimana dimaksud pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999.
[25] Lihat lebih lanjut dalam http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/fdf708c524a1ab04dbae6ca9b56791f5.
[26] Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1988 tentang Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti.
[27] Hal ini pernah terjadi dalam satu perkara korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di mana terpidana tidak mau membayar uang pengganti melainkan ingin “mengganti” pembayaran itu dengan pidana penjara pengganti. Hal tersebut ditolak KPK. Terpidana kemudian dikeluarkan dari tahanan dan semua harta kekayaannya disita untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.420 Miliar.
[28] Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51d2d86f57694/kamar-pidana-ma-bahas-polemik-uang-pengganti.
[29] Efi, Op. Cit., , hal. 26.
[30] Lihat naskah putusan selengkapnya dapat diakses pada http://putusan.mahkamahagung.go.id.
[31] Pasal 18 ayat (2) UU No.31/1999 jo. UU 20/2001, jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
[32] SEMA Nomor 4 Tahun 1988 tentang Eksekusi Terhadap Pembayaran Uang Pengganti.
[33] Fatwa MA Nomor 37/T4/88/66/Pid tanggal 12 Januari 1988.
[34] Pasal 39 ayat (1) KUHAP: yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a.benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana; b.benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c.benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d.benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e.benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan
[35] Pemulihan keuangan negara melalui instrumen perdata juga diatur dalam Pasal 32, 33 dan 34 UU 31/1999 jo. Pasal 38 c UU 20/2001. Namun pada praktiknya hal tersebut juga tidak mudah. Gugatan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) hanya dapat dilaksanakan sepanjang diketahui masih ada harta untuk disita; alamat terpidana diketahui dengan jelas; dan didukung dengan bukti-bukti yang kuat. JPN tidak cukup hanya dengan menduga atau patut menduga bahwa harta yang digugat adalah hasil korupsi, sebab dugaan atau patut diduga tidak mempunyai kekuatan dalam proses perdata. JPN harus bisa membuktikan bahwa harta terpidana yang digugat adalah hasil korupsi. Lihat Efi Laila Kholis, op.cit., hal. 4.
[36] Rumusan ini diajukan oleh Hakim Agung Suhadi, lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51d2d86f57694/kamar-pidana-ma-bahas-polemik-uang-pengganti
[37] Lihat naskah putusan selengkapnya di http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/20a396efa3881fe75712e1cd5447212e.