oleh: Alfeus Jebabun
Pada Rabu, 9 Januari 2019, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang Klasifikasi Putusan Tindak Pidana Korupsi & Revitalisasi Direktori Putusan (Data Warehouse) dengan para Hakim Agung dan Panitera Pengganti Kamar Pidana Mahkamah Agung Republik Indonesia. FGD ini dilakukan sebagai bagian dari program CEGAH-USAID Required Task (RT) 1 tahun ke-2: Asistensi Pembangunan Pusat Data Perkara Tindak Pidana Korupsi. FGD dihadiri oleh 16 orang Hakim Agung dan Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi, Panitera Mahkamah Agung Made Rawa Aryawan, S.H., M.Hum., Panitera Muda Pidana Suharto, S.H., M.Hum., 35 orang Asisten Kamar Pidana, perwakilan dari USAID CEGAH dan LeIP. FGD dibuka oleh Ketua Kamar Pidana, Dr. Suhadi, S.H., M.H.
Diskusi diawali oleh penjelasan singkat Chief of Party USAID CEGAH, Juhani Groossmann tentang program USAID CEGAH. Selanjutnya, Peneliti LeIP, Arsil mempresentasikan “Diskusi Penyusunan Klasifikasi Putusan dalam Rangka Pembangunan Pusat Data Perkara Tipikor”. Dalam pemaparannya, Arsil mengatakan bahwa tujuan pembangunan data warehouse adalah untuk memudahkan hakim agung dalam bekerja terutama untuk melakukan penelusuran putusan-putusan yang sudah diputus. Salah satu cara yang akan dilakukan adalah mengembangkan sistem klasifikasi putusan, khususnya sistem klasifikasi putusan Tipikor.
Lebih lanjut Arsil menjelaskan, setiap tahun MA mempublikasi lebih dari 10.000 putusan dalam direktori putusan. Total putusan dalam direktori putusan saat ini kurang lebih 117.000 perkara, ada 17.000 putusan pidana, 16.000 pidana khusus, dan sekitar 4.000 putusan kasus korupsi.
“Direktori putusan MA saat ini memang sudah ada klasifikasi. Namun, kami sebagai masyarakat masih sulit menelusuri putusan yang memiliki permasalahan hukum yang dianggap penting. Selain itu, masih banyak file putusan yang sulit diakses. Pemanfaatan direktori hanya terbatas pada keterbukaan informasi saja, tidak untuk pemanfaatan putusan yang serupa. Misalnya, kita mencari putusan yang berkaitan dengan hukum acara. Kita mengalami kesulitan, karena dalam direktori sekarang tidak ada klasifikasi berdasarkan hukum acara,” kata Arsil.
Menurut Arsil, sistem klasifikasi yang akan dibangun dibagi ke dalam dua kelompok besar. Pertama, klasifikasi umum yaitu klasifikasi yang berlaku untuk semua perkara. Menurut Arsil, semua perkara yang diputus dipublikasikan ke data warehouse. Namun, perkara-perkara tersebut tetap dikelompokkan, bisa berdasarkan jenis perkara, atau bisa berdasarkan jenis tindak pidana.
Kedua, klasifikasi khusus yaitu klasifikasi terhadap putusan-putusan yang memiliki permasalahan hukum yang penting. Sebab, tidak semua putusan memiliki permasalahan hukum yang penting. “Sehingga, untuk memudahkan kerja para hakim ke depan dan juga masyarakat, putusan-putusan penting ini perlu dibuatkan klasifikasi khusus. Perlu ditandai”.
“Dalam klasifikasi terhadap putusan-putusan tipikor yang sudah kami buat, misalnya, kami membuat klasifikasi berdasarkan jenis perkara dan dasar hukum. Ada tujuh jenis klasifikasi perkara, yaitu kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi,” jelas Arsil.
Arsil menjelaskan, klasifikasi putusan penting bermanfaat dalam menjaga konsistensi putusan dan membantu MA mengidentifikasi kaidah hukum yang sudah konsisten. Putusan yang dianggap penting ini akan ditandai dengan kata kunci, kaidah hukum, dan ringkasan putusan. Arsil menegaskan, putusan penting tidak sama dengan Yurisprudensi.
Menurut Arsil, setidaknya ada 5 kriteria putusan penting. Pertama, dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, Majelis Hakim Agung menjelaskan uraian secara khusus mengapa penerapan hukum judex facti atas suatu unsur telah tepat atau salah. Kedua, dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menguraikan bagaimana seharusnya suatu unsur tindak pidana ditafsirkan. Ketiga, putusan tersebut secara tegas menyatakan menyimpang atau menganulir yurisprudensi yang ada beserta penjelasan mengapa yurisprudensi yang ada tidak dapat diterapkan dalam perkara a quo atau sudah tidak dapat diikuti.
Keempat, dalam pertimbangan hukum diuraikan tentang kesalahan cara mengadili yang dilakukan oleh judex facti serta bagaimana seharusnya yang dilakukan. Kelima, putusan-putusan lainnya yang menurut majelis hakim memuat pertimbangan hukum yang penting untuk diketahui oleh seluruh anggota kamar pidana.
“Adapun yang menentukan putusan penting adalah majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Majelis hakim mengidentifikasi putusan penting setiap memutus perkara. Jika ada putusan yang dianggap penting, salah satu anggota majelis mengisi kolom kata kunci dan membuat abstrak dalam lembaran tersendiri yang melekat dalam berkas perkara. Kemudian, formulir yang berisi kata kunci dan abstrak tersebut diserahkan kepada operator untuk dimuat dalam direktori putusan,” jelas Arsil.
Menanggapi usulan Arsil, Ketua Kamar Pidana Suhadi mengatakan, sangat sulit apabila hakim agung dibebankan membuat abstrak putusan. “Menurut pengalaman saya waktu menyusun yurisprudensi dan landmark Mahkamah Agung, pada zaman ibu Valerine, untuk manandai putusan penting saja hakim agung sangat kesulitan. Padahal hanya mencontreng. Itu saja sulit dilakukan, apalagi untuk membuat abstrak seperti yang diusulkan Pak Arsil,” kata Suhadi.
Menjawab keraguan Suhadi, Arsil menjelaskan pentingnya abstrak harus dibuat oleh majelis hakim. Arsil mengatakan: “Karena yang paling mengetahui esensi dari putusan (pertimbangan) adalah masing-masing majelis hakim yang memutus perkara tersebut. Abstrak tidak harus berlembar-lembar, tetapi bisa dibuat dalam satu kalimat atau cukup dua paragraf. Ringkasan itu hanya untuk menggambarkan secara garis besar tentang perkara.”
Menurut Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi, Prof. Dr. Krisna Harahap, S.H.M.H., adanya rencana penyusunan klasifikasi putusan patut diapresiasi. Sebab, selama ini inkonsistensi putusan masih kerap terjadi di MA. “Direktori putusan sekaligus menelanjangi data-data yang kita miliki. Direktori putusan itu sangat penting. Tetapi yang sangat penting lagi adalah menyatukan persepsi dan pola pikir hakim agung terhadap satu hal (isu hukum yang sama), misalnya tentang kewenangan untuk menilai kerugian negara, unsur subjek dalam tindak pidana korupsi.”
Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi, Prof. Dr. Mohammad Askin, S.H. menjelaskan penyusunan klasifikasi ini sangat menarik. Namun, perlu ada alternatif untuk menemukan topik-topik tertentu seperti google. “Hal yang penting lainnya, apakah dalam indeks ini dikemukakan mengenai dissenting opinion? Sebab, dalam perbedaan pendapat itu terkadang mengandung permasalahan penting yang diuraikan secara detail. Selain itu, apakah indeks ini juga menyinggung pendapat para ahli? Sebab, ada juga pendapat ahli yang penting yang beriring dengan putusan tersebut,” katanya.
Hakim Agung DR. H. Andi Samsan Nganro, S.H., M.H., menanggap, klasifikasi ini sangat penting untuk menelusuri perkara yang sama dengan perkara yang sedang ditangani para hakim agung. Klasifikasi, kata Andi, akan mendorong terwujudnya konsistensi putusan dan kesatuan hukum.
“Ketiga, klasifikasi ini akan memudahkan dan mempercepat kerja hakim agung dalam menyelesaikan perkara yang ditangani. Karena dengan adanya data base, kita bisa mencari dengan cara mengetik kata kunci, semua kaidah yang terkait akan keluar semua. Namun, kaidah hukum ini harus diseleksi sebaik mungkin. Sebab, ada kaidah hukum yang hanya mengikat dan memenuhi kebutuhan para pihak yang berperkara saja, tetapi ada kaidah hukum yang mengandung kemanfaatan dan keadilan yang tinggi, disamping menyelesaikan perkara para pihak. Contoh, putusan yang pernah dibuatkan oleh Hakim Bismar Siregar, laki-laki hidung belang dapat dikenai pasal penipuan. Namun, putusan itu tidak diikuti,” kata Andi.
Andi Samsan menyarankan agar ke depan, Perlu ada tim seleksi di Mahkamah Agung untuk menyeleksi kaidah-kaidah hukum yang perlu diangkat atau layak dipublikasi. Kaidah itu harus memiliki kemanfaatan untuk masa kini dan masa mendatang. Kaidah hukum yang diperlukan adalah kaidah yang belum diatur dalam undang-undang atau diatur tetapi belum jelas pengaturannya, yang membutuhkan legal reasoning oleh hakim.
Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Dr. Leopold Luhut Hutagalung, S.H., M.H. menyarankan agar putusan-putusan pengadilan itu dikelompokkan ke berdasarkan isu yang sama. Misalnya, mengenai Pasal 18, terkait uang pengganti. Leopold mengatakan: “Sehingga, masing-masing hakim dapat melihat pendapat mana yang paling banyak.”
Hakim Agung Dr. Sofyan Sitompul, S.H., M.H., setuju dibuatkan klasifikasi. Ketersediaan data yang banyak, kata Sofyan, akan membantu hakim agung dalam melaksanakan tugasnya. Namun, menurut Sofyan, agak sulit jika hakim agung yang sudah memiliki beban kerja yang banyak dibebani lagi dengan mengisi formulir, apalagi membuat abstrak.
“Tugas untuk mengisi form sebagaimana diusulkan bang Arsil tadi sebaiknya menjadi tugas asisten. Tinggal sekarang yang perlu dipikirkan adalah mekanisme kerja antara asisten dan majelis, karena memang benar yang tau kasusnya, ya hakim agung sendiri. Namun beban hakim agung sudah banyak,” katanya.
Hakim Agung Dr. Salman Luthan, S.H., M.H., menyarankan, membuat klasifikasi sebaiknya berangkat dari rumusan hukumnya, kemudian menentukan kata kunci, dan selanjutnya membuat klasifikasi. Dalam membuat klasifikasi, menurut Salman, harus melihak karakteristik kasusnya. “Misalnya, pengadaan barang dan jasa, korupsi di DPR, DPRD. Tipologi lainnya, bisa dilihat dari subjek, seperti aparat pemerintah baik pusat maupun daerah, kementerian. Jadi, klasifikasinya dimulai dari jenis-jenis tindak pidananya, kemudian tipologi atau karakteristiknya,” kata Salman.
FGD ini ditutup oleh Ketua Kamar Pidana, Dr. Suhadi, S.H., M.H., pada pukul 13.00 WIB, dan mengutip pendapat Hakim Agung Ad Hoc Dr. Mohammad Askin, S.H., yang mengatakan: “Semoga kegiatan klasifikasi ini tidak bersifat insidentil, melainkan berkelanjutan.”