Ketentuan pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) hadir sebagai salah satu upaya melindungi kepentingan lingkungan hidup dan masyarakat terdampak. Salah satu ketentuan yang terkait dengan hal ini adalah adanya sanksi pidana tambahan berupa perbaikan akibat tindak pidana yang diatur dalam Pasal 119 huruf c. Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan hakim apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh badan usaha.
Dalam penelitian yang dilakukan LeIP pada tahun 2020 yang lalu atas sejumlah putusan pidana lingkungan ditemukan setidaknya 2 putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana tambahan perbaikan akibat tindak pidana ini, yaitu perkara dengan terdakwa PT. Adei Plantation (228/Pid.Sus/2013/PN.Plw) dan perkara dengan terdakwa PT. Prima Indo Persada (25/Pid.B/LH/2019/PN.Nla).
Dalam perkara PT. Adei Plantation dimana terbukti bersalah karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, pengadilan menjatuhkan pidana tambahan perbaikan akibat tindak pidana yaitu untuk memulihkan lahan yang rusak sebesar 40 ha dengan cara memberi kompos dengan biaya +/- 15 milyar rupiah. Sementara itu dalam perkara PT. Prima Indo Persada pengadilan tidak menyebutkan secara detil bagaimana perbaikan akibat tindak pidana tersebut dilakukan namun hanya menyebutkan menjatuhkan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa perbaikan akibat tindak pidana.
Dari kedua putusan tersebut terlihat adanya perbedaan bagaimana amar putusan pidana tambahan bentuk ini dijatuhkan dimana yang satu menyebutkan secara cukup rinci apa yang harus dilakukan terdakwa sementara dalam putusan lainnya tidak.
Permasalahan pidana tambahan perbaikan akibat ganti kerugian ini merupakan isu hukum yang cukup penting sekaligus menarik untuk didiskusikan. Beberapa permasalahan hukum yang muncul baik dari kedua putusan tersebut maupun dari Pasal 119 jo. Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2009 ini yaitu bagaimana seharusnya rumusan pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan, apakah pengadilan wajib menyebutkan secara lebih rinci sebagaimana putusan PT. Adei Plantation atau kah cukup menyatakan amar sebagaimana dalam putusan PT. Prima Indo Persada, mengingat UU No. 32 Tahun 2009 sendiri tidak mengatur secara jelas bagaimana pidana tambahan ini dijatuhkan.
Terlepas dari hal di atas, isu lain yang tak kalah menariknya untuk dibahas adalah terkait konsekuensi hukum apabila pidana tambahan ini tidak dilaksanakan oleh terpidana. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 permasalahan ini terkesan luput untuk diatur, hal ini tentunya dapat membuat pidana tambahan ini berpotensi tidak akan terlalu efektif.
Lebih lanjut lagi, Pasal 120 ayat (1) UU PPLH mengatur bahwa pelaksanaan pidana tambahan dalam bentuk pemulihan akibat pidana lingkungan hidup dilakukan oleh jaksa Penuntut Umum berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan ini pun dirasa masih terlalu umum, sehingga perlu dicari tahu lebih lanjut bagaimana mekanisme eksekusi pidana lingkungan hidup.
Ketentuan yang masih bersifat sumir dalam undang-undang tersebut menjadi tantangan dalam menjamin terakomodasinya kepentingan publik dengan adanya pidana tambahan berupa pemulihan akibat tindak pidana lingkungan. Karenanya, dibutuhkan sebuah diskusi publik sebagai forum inklusif yang mempertemukan praktisi, akademisi, dan masyarakat sipil, untuk membahas penerapan mekanisme eksekusi pidana tambahan lingkungan hidup.
Berikut materi dari para pembicara: