Diskusi dengan perwakilan masyarakat sipil di bidang hukum dan peradilan dilaksanakan pada Kamis, 15 Januari 2015 bertempat di kampus Indonesia Jentera Law School (IJSL) – Jakarta. Tema yang diangkat dalam diskusi ini adalah seputar upaya-upaya MA RI dalam mengurangi arus perkara atau membatasi perkara. Diskusi ini dihadiri oleh 18 orang yang berasal dari berbagai CSO dan institusi lainnya. CSO yang turut serta dalam diskusi adalah: LeIP; Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK); Indonesia Legal Roundtable (ILR), dan Indonesia Criminal Justice Reform (ICJR). Selain perwakilan dari CSO, turut hadir juga perwakilan dari hakim, yaitu hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Serang dan Ketua Pengadilan Agama Cilegon. Pelaksanaan diskusi ini bermaksud untuk memberikan pemahaman awal kepada perwakilan CSO mengenai kondisi beban penanganan perkara pada MA RI dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi arus perkara yang masuk ke MA RI, sekaligus mendapatkan gambaran perbandingan kondisi dengan HR Belanda. Diskusi dibuka tepat pada pukul 14.30 WIB oleh Ariehta Eleison (Peneliti LeIP) selaku moderator yang selanjutnya diteruskan dengan penyampaian materi pengantar diskusi oleh Arsil (peneliti LeIP) dengan judul “ Reducing Supreme Court Case Load”.
Poin-poin materi yang disampaikan oleh Arsil dalam presentasinya adalah sebagai berikut :
- Besarnya beban perkara yang harus diselesaikan oleh MA sebenarnya bukanlah hal yang baru. Masalah ini sudah dialami oleh MA sejak akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an. Bahkan menurut data yang ada pada MA sampai dengan tahun 2005, tunggakan perkara pada MA mencapai angka 20.000 perkara.
- Pada tahun 2003-2004, isu pembatasan perkara mulai mengemuka di MA dan selanjutnya diatur dalam ketentuan Pasal 45A UU No. 5 Tahun 2004 yang merupakan perubahan pertama UU MA. Dalam ketentuan pasal tersebut terdapat tambahan 3 kriteria perkara yang tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi ke MA, yaitu: (a) putusan perkara pra peradilan; (b) putusan perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun; dan (c) perkara sengketa administrasi yang disebabkan oleh keputusan kepala daerah.
- Sejak tahun 2005, jumlah perkara pada MA terus meningkat sebanyak 6.9% setiap tahunnya. Dengan komposisi perkara berdasarkan jenis kewenangan mengadili: (a) 80% kasasi; (b) 19% kasasi; dan (c) kurang dari 1% Judicial Review dan Permohonan Grasi. Sedangkan komposisi perkara berdasarkan jenis perkara yang diperiksa adalah: (a) 40% perkara pidana; (b) 40% perkara perdata; (c) 15 % perkara pajak dan TUN; (d) 4% perkara agama; dan (e) 1% perkara pidana militer.
- Terdapat ketidaknormalan perbandingan jumlah perkara yang ditangani oleh MA dengan jumlah perkara yang ditangani oleh pengadilan tingkat banding. Data yang ada menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, hampir seluruh perkara yang masuk ke pengadilan tingkat banding (terdapat sekitar 74 pengadilan) berakhir di MA. Kondisi ini memperlihatkan bahwa seolah-olah pengadilan tingkat banding tidak berperan dalam menangani perkara.
- Selain hal tersebut, MA juga menangani perkara PK dalam jumlah yang cukup besar.
- Sejauh ini, beberapa upaya telah ditempuh oleh MA RI dalam rangka mengurangi arus perkara, antara lain: (a) pengaturan pada Pasal 45A UU No. 5 Tahun 2004); (b) Penambahan jumlah hakim agung; dan (c) penerapan sistem kamar.
- Namun, upaya-upaya tersebut dapat dikatakan belum berhasil mengatasi permasalahan besarnya beban penanganan perkara pada MA. Pertama, terkait dengan ketentuan Pasal 45A UU No. 5 Tahun 2004, kriteria perkara yang tidak dapat dimohonkan kasasi sesuai dengan pengaturan pasal 45A tersebut jumlahnya tidak banyak, sehingga ketentuan ini tidak mengurangi jumlah perkara secara signifikan. Selain itu, terkadang ketentuan pasal ini pun dilanggar oleh MA dan pengadilan di bawahnya. Hanya sekitar 20% putusan MA dalam pertimbangannya menyatakan perkara tidak dapat diterima karena perkara yang bersangkutan termasuk ke dalam kriteria perkara yang tidak dapat dimohonkan kasasi, sedangkan 80% sisanya diputus tanpa dengan pertimbangan demikian. Disisi lain, juga terdapat ketidakpatuhan jaksa terhadap ketentuan Pasal 45A tersebut. Terlepas dari hal itu, 60% perkara kasasi yang ada pada MA diajukan oleh JPU.
- Kedua, salah satu penyebab tingginya arus perkara yang masuk ke MA adalah karena putusan MA yang tidak konsisten, sehingga setiap pihak yang berperkara selalu merasa memiliki kesempatan untuk mengajukan upaya hukum ke MA dengan harapan mendapatkan putusan yang berbeda. Sistem kamar hadir untuk menjawab persoalan tersebut, akan tetapi hingga saat ini inkonsistensi tetap terjadi meskipun MA telah menerapkan sistem kamar kurang lebih 3 tahun lamanya (sejak tahun 2011). Pasalnya, rapat pleno kamar yang menjadi salah satu pranata penting dalam menjaga konsistensi putusan belum dilaksanakan secara maksimal oleh MA. Disamping itu, di kalangan internal MA sendiri masih terdapat kesalahan konsepsi (mispersepsi) dalam memahami sistem kamar. Sistem kamar hanya dimaknai sebagai sebuah sistem pengelompokkan hakim-hakim agung ke dalam kamar-kamar penanganan perkara. Dengan demikian sistem kamar belum dipahami sebagai sebuah sistem kerja yang pada akhirnya bertujuan untuk menciptakan konsistensi putusan MA.
- Selain alasan-alasan tesebut, beberapa faktor eksternal turut berpengaruh dalam menciptakan konsistensi putusan MA, diantaranya: (a) belum terbangunnya culture mengkritisi putusan pengadilan dalam perkulihaan, hal ini membuat MA RI tidak menyadari tentang inkonsistensi putusan lembaganya sendiri. Meskipun beberapa waktu terakhir, kegiatan analisa putusan sudah mulai dilakukan di beberapa perguruan tinggi. (b) Advokat yang kurang memiliki kualifikasi dalam bercara dan tidak begitu memahami tetang upaya hukum kasasi serta kriteria perkara-perkara yang dapat diajukan upaya kasasi. Tidak jarang para advokat menyarankan untuk mengajukan kasasi ke MA walaupun secara jelas perkara tersebut tidak dapat diajukan kasasi. (c) Kurangnya pengetahuan JPU tentang konsep upaya hukum kasasi yang berbeda dengan upaya hukum banding, dan tidak adanya komunikasi antara MA dan Kejaksaan terkait dengan isu pembatasan perkara ini padahal 60% perkara kasasi diajukan oleh JPU.
Selanjutnya dalam sesi diskusi mengemuka beberapa pertanyaan maupun pernyataan dari seluruh peserta FGD, yaitu sebagai berikut:
- Apakah advokat dalam menyusun gugatan maupun permohonan ke MA sudah menggunakan yurisprudensi ataupun putusan-putusan hakim terdahulu sebagai dasar gugatannya?
- Melihat tingginya angka upaya hukum kasasi maupun PK yang diajukan ke MA apakah menunjukkan ketidakpercayaan publik pada pengadilan di tingkat bawah?
- Apa sesungguhnya tujuan atau maksud penerapan sistem kamar di Belanda? tujuan ini menjadi penting untuk dipahami agar implementasi sistem kamar pada MA RI yang merujuk pada contoh di Belanda menjadi tidak salah arah.
- Isu pembatasan kasasi memiliki kaitan erat dengan hak asasi manusia, utamanya hak dalam mengajukan upaya hukum. Oleh karena itu, harus sangat berhati-hati ketika merumuskan konsep pembatasan kasasi tersebut.
- MA RI sejauh ini telah mengambil langkah-langkah dalam mengurangi arus perkara ke MA RI. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mendorong penyelesaian perkara melalui mediasi.
- Persoalan tentang public trust terhadap pengadilan sebenarnya perlu diteliti kembali. Dengan lebih dari 250 juta penduduk Indonesia, maka besarnya jumlah perkara yang masuk ke MA RI menjadi hal yang wajar. Hal ini disatu sisi menunjukkan tingginya kesadaran hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan.
- Disisi lain, terdapat juga pendapat yang menyatakan bahwa jumlah perkara yang masuk ke pengadilan setiap tahunnya masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Memang masih terlalu dini untuk menilai apakah adanya ketidak percayaan publik terhadap institusi pengadilan, tetapi terdapat juga kemungkinan bahwa masyarakat cenderung memilih alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan.
- Berkaitan dengan besarnya beban perkara yang harus ditangani oleh MA RI, permasalahan lainnya juga ada pada SDM yang tidak sebanding dengan beban kerja tersebut. Hakim pajak pada MA RI misalnya, hanya terdapat 1 orang hakim agung dengan spesialisasi hukum pajak padahal perkara pajak adalah perkara yang dominan pada Kamar TUN. Tidak seimbangnya jumlah SDM yang tersedia dengan besarnya beban perkara yang harus diselesaikan tentunya akan berdampak pada kualitas putusan yang dihasilkan.
- MA sudah berupaya menciptakan konsistensi putusan dengan mengeluarkan beberapa SEMA yang bertujuan untuk memperjelas perihal isu-isu hukum tertentu yang selama ini masih ditafsirkan secara berbeda di kalangan para hakim. Selain usaha untuk mencapai konsistensi putusan tersebut, MA terus berupaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas putusannya. Sampai dengan tahun ini MA sudah mengunggah lebih dari 1 juta putusan dalam website resmi MA dan sudah diterapkan pula sistem one day publish.
- Namun, terkadang MA dan pengadilan tingkat bawah tidak konsisten dalam menjalankan SEMA atau aturan internal MA lainnya yang telah ditetapkan. Sebagai contoh adalah SEMA klasifikasi pengguna narkoba dan PERMA No. 1 Tahun 2012/Perma Tipiring. Hal ini dikarenakan hakim dipandang merdeka/independen dalam memeriksa perkara termasuk di dalamnya penggunaan dasar hukum dalam memutus suatu perkara. Hakim seolah diberi kebebasan untuk memilih apakah dia akan mempertimbangkan SEMA atau Perma tertentu maupun yurisprudensi.
- MA dalam putusannya cenderung minim pertimbangan dan tidak jarang saling bertentangan. Hal ini membuat hakim pada pengadilan tingkat bawah sering kebingungan dalam mempedomani putusan MA, karena sejatinya putusan MA adalah judex juris yang memutus tentang penerapan hukum di Indonesia.
Dalam kesempatan ini, J. Hans Storm selaku Panitera Hoge Raad dan Adwin Rotscheid selaku Direktur Operasional Hoge Raad berbagi penjelasan tentang pelaksanaan sistem kamar pada Hoge Raad, pembatasan perkara, dan isu lainnya sebagai berikut:
- Tujuan utama dari penerapan sistem kamar adalah untuk menciptakan konsistensi putusan yang akan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat. Dalam sistem kamar, hakim ditempatkan pada satu kamar yang sesuai dengan latar belakang keahlian atau spesialisasi keilmuan hakim yang bersangkutan. Selain mendorong profesionalitas hakim dalam memeriksa perkara, pengelompokkan hakim tersebut juga dalam rangka menciptakan keseragaman hukum pada HR. Selain itu, dengan adanya rapat pleno kamar, semua hakim agung dapat mengetahui pertanyaan-pertanyaan hukum apa saja yang muncul pada kamar mereka. Keputusan rapat pleno dipatuhi oleh seluruh hakim dan dicantumkan dalam putusan.
- Independensi hakim pada Hoge Raad dimaknai sebagai independensi institusional, bukan individual. Oleh karena itu, setiap hakim wajib mentaati keputusan rapat pleno karena keputusan tersebut melambangkan keputusan dari Hoge Raad. Independensi ini bebas atau merdeka dari intervensi lembaga lain apakah itu eksekutif maupun legislatif. Pada prinsipnya, kepastian hukum yang ingin diwujudkan tidak bertentangan dengan prinsip kemerdekaan institusional.
- Hakim dalam putusannya wajib mempertimbangkan yurisprudensi. Apabila hal tersebut tidak dipertimbangkan, maka putusan akan dibatalkan di tingkat banding dengan alasan kurangnya pertimbangan. Pada dasarnya, tidak ada putusan hakim tanpa pertimbangan hukum. Perkara yang diajukan ke Hoge Raad adalah perkara yang mengandung pertanyaan hukum tertentu. Sesuai dengan aturan pada Pasal 81 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Belanda, hakim tidak dapat menerima perkara apabila tidak ada pertanyaan hukum di dalamnya. Salah satu contoh dari pertanyaan hukum adalah penafsiran tentang ketentuan suatu undang-undang yang tidak jelas.
- Putusan yang bernilai yurisprudensi adalah putusan yang menafsirkan ketentuan suatu undang-undang.
- Hoge Raad memiliki pedoman penyelesaian perkara-perkara yang tidak mengandung pertanyaan hukum yang sulit, sehingga perkara ini cukup dijawab dengan pertimbangan hukum yang sederhana. 40 persen perkara pidana pada HR dijawab dengan pertimbangan hukum demikian. Dengan begitu, HR dapat berfokus pada penyelesaian perkara-perkara yang rumit dengan pertanyaan hukum yang sulit. Putusan-putusan dari perkara yang rumit tersebut (misalnya, pencucian uang) juga disarikan menjadi satu pedoman bagi hakim dalam memutus perkara serupa di masa mendatang.
- Pembatasan kasasi tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, sesuai dengan Konvensi HAM Uni Eropa. Banyak negara EU sudah menerapkan pembatasan kasasi dengan sangat ketat. Kasasi hanya diajukan terhadap perkara-perkara yang memiliki pertanyaan hukum. Sejak tahun 2012, HR sudah menerapkan hal tersebut. Permohonan kasasi yang terkait dengan penilaian fakta tidak akan diterima.
- Pengajuan upaya hukum (kasasi) memang adalah hak, tetapi memperoleh hak tidak sama dengan memperoleh kebenaran. Pada dasarnya, ketika seseorang mengajukan upaya hukum kasasi, sebelumnya telah dilakukan dua kali penilaian terhadap fakta perkara tersebut. Pemeriksaan yang ketiga kalinya hanya untuk penerapan hukum. Apabila di tingkat kasasi HR tetap menilai fakta, maka arus perkara tidak akan dapat dibendung. Oleh sebab itu, jadi bahan masukan bagi MA RI agar bisa konsisten dengan pembatasan perkara yang telah diatur dalam UU MA. Aturan tersebut akan berlaku secara penuh jika dijalankan oleh MA dan jajarannya secara konsisten.
- Jika dibandingkan dengan Indonesia, tingkat kepercayaan publik Belanda terhadap pengadilan sangat besar. 16 juta penduduk Belanda, setiap tahunnya terdapat 2 juta perkara yang masuk ke pengadilan. 1.6 juta pada pengadilan tingkat bawah, 6000 perkara pada HR dan rata-rata dari dua angka tersebut ditangani oleh pengadilan tingkat banding. Wacana yang tengah berkembang di Belanda adalah pengembangan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan mengingat makin besarnya beban perkara di pengadilan dan mahalnya biaya perkara.
Dalam beberapa hari kunjungan ke MA, Mrs. Hans Storm dan Adwin. R mengapresiasi keberhasilann MA dalam mempublikasikan putusan dan mempercepat jangka waktu penyelesaian perkara di MA. Menurut Adwin, jangka waktu penanganan perkara memang hal yang seharusnya sudah diketahui atau dapat diduga oleh publik. Selain itu, langkah-langkah yang diambil MA dalam penerapan sistem kamar juga patut diapresiasi walaupun belum semua aspek diterapkan secara maksimal. Di masa mendatang, menjadi pekerjaan rumah bagi MA untuk terus mendorong pelaksanaan rapat pleno perkara dan aspek penting lainnya dalam sistem kamar agar konsistensi dan keseragaman hukum dapat dicapai.