Pembaca yang budiman, setelah lama absen, sekarang dictum sudah di tangan Anda lagi. Banyak hal yang kami benahi dari edisi sebelumnya. Harapan kami, pembaca bisa lebih menikmati materi yang kami tampilkan.
Dictum edisi kedua ini menyuguhkan tema Masyarakat Menggugat. Kasus – kasus yang kami kaji memiliki benang merah yaitu pihak Penggugat dari keempat kasus tersebut sebenarnya bukanlah pihak yang secara langsung dirugikan oleh Negara/Pemerintah, hal mana belum terdapat aturan yang tegas yang mengatur hal tersebut. Kasus pertama yaitu kasus Citizen Law Suit Tragedi Nunukan, di mana para Penggugat adalah warga negara yang bukanlah korban langsung dari kejadian tersebut. Kasus kedua yaitu Legal Standing (Hak Gugat) AJI melawan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Pemda DKI Jakarta). Kasus ketiga dan keempat dikaji secara bersama karena memiliki kesamaan pokok permasalahan, yaitu kasus Permohonan Praperadilan oleh Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera Arief Rahman Hakim (IKBLA) atas Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Tindak Pidana Korupsi Dana Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Samarinda dan Permohonan Praperadilan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) atas SP3 Tindak Pidana Korupsi Texmaco.
Keempat kasus di atas mendapat respon yang berbeda – beda dari pengadilan. Pada kasus Citizen Law Suit Tragedi Nunukan, di mana jenis gugatan ini baru pertama kalinya dipraktekkan di Indonesia, respon pengadian dinilai cukup progresif karena pengadilan (Majelis Hakim) berani melakukan terobosan hukum dengan menyatakan menerima gugatan Penggugat sebagai gugatan Citizen Law Suit. Pada kasus kedua, yaitu kasus Legal Standing (Hak Gugat) AJI melawan Pemda DKI, pengadilan juga cukup responsif terhadap masyarakat sipil. Pengadilan berani melakukan terobosan hukum dalam perkara perdata biasa, yaitu Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh aparat Ketentraman dan Ketertiban (Trantib) Pemda DKI terhadap seorang wartawan ketika sedang menjalankan tugas. Padahal selain merupakan ‘barang baru’ di dunia peradilan kita selama ini, Legal Standing yang daikui selama ini oleh peraturan hanyalah Legal Standing bagi organisasi yang telah berbadan hukum dan khusus hanya dalam perkara konsumen dan lingkungan semata.
Pada dua kasus selanjutnya, respon pengadilan berbeda dari dua kasus sebelumnya di atas. Pada kasus permohonan praperadilan IKBLA terhadap SP3 perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana PBB, di tingkat Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung menolak permohonan IKBLA dengan alasan bahwa IKBLA bukanlah pihak yang memiliki standing sebagai pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 80 KUHAP. Hal ini terjadi juga pada kasus Permohonan Praperadilan ICW dalam kasus SP3 Texmaco. Yang menarik dari kasus IKBLA adalah adanya ‘tarik – menarik’ di pengadian sendiri serta adanya dua putusan PK untuk satu perkara yang sama. Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri (PN) Samarinda menerima permohonan IKBLA dan menyatakan IKBLA merupakan pihak yang sah sebagai pemohon. Pada tingkat banding, PT membatalkan putusan PN tersebut dengan menyatakan bahwa IKBLA tidak memiliki standing sebagai pemohon. Pada PK yang pertama, MA membatalkan putusan PT dan mendukung putusan PN. Akan tetapi MA kemudian ‘merevisi’ putusannya sendiri melalui PK yang kedua, yang menyatakan dukungan pada putusan PT. Putusan kedua kasus ini memunculkan beberapa pertanyaan yang sangat bermanfaat bagi perkembangan peradilan Indonesia, yaitu instrumen hukum apa yang dapat dipergunakan oleh masyarakat untuk mengontrol kewenangan Kejaksaan, khususnya dalam hal adanya pemberhentian penyidikan/penuntutat atas perkara – perkara ‘victimless crime’ atau perkara di mana masyarakat merupakan korban tidak langsung dari suatu tindak pidana. Selain itu pertanyaan lain yang perlu didiskusikan adalah apakah PK dapat dilakukan lebih dari satu kali.
Dalam keempat kasus di atas berbagai argumentasi yang saling bertentangan diajukan oleh para pihak. Majelis Hakim diuji untuk memutuskan dengan mempertimbangkan rasa keadilan. Kita patut memberi acungan jempol kepada para Majelis Hakim yang telah berani melakukan terobosan hukum, melakukan reinterpretasi dan mau belajar berdasarkan pengalaman negara lain, sehingga putusan – putusan yang mereka hasilkan akan tercatat sebagai putusan yang menjadi tonggak sejarah atau “landmark decision”.
Selain kajian atas putusan pengadilan, pada edisi kali ini dan selanjutnya kami menyuguhkan rubrik “Review” yang berisi kajian atas isu – isu yang berkembang di dunia peradilan. Pada edisi ini masalah yang akan diangkat dalam rubruk tersebut adalah Paket Undang Undang di Bidang Peradilan.
Semoga kajian yang kami sajikan ini bermanfaat bagi pembenahan peradilan Indonesia. Selamat membaca.
Redaksi