Memiliki sebuah jurnal yang terbit secara reguler merupakan sebuah keinginan terpendam LeIP sejak berdirinya tahun 1999. Setelah melewati proses yang panjang, tahun 2002 ini, harapan tersebut dapat terealisasikan dengan diterbitkannya dictum, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan.
Kelahiran dictum dilatarbelakangi oleh keprihatinan melihat rendahnya kualitas sebagian putusan pengadilan dan minimnya kajian terhadap putusan pengadilan. Mengingat putusan pengadilan sangat menentukan masa depan hukum di negara ini, maka dictum mencoba mengisi ruang – ruang kosong yang selama ini ditinggalkan dalam bidang kajian putusan pengadilan.
Kajian dalam dictum dimaksudkan mencakup berbagai bidang di dalam ilmu hukum. Pengkajian difokuskan pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), tanpa menutup kemungkinan untuk mengkaji putusan yang belum inkracht. Pandangan bahwa hal tersebut akan mempengaruhi independensi hakim tidak beralasan mengingat yang dilakukan adalah tinjauan akademis. Hal tersebut lazim pula dilakukan negara lain.
Kriteria putusan yang dijadikan obyek kajian adalah putusan yang berdampak luas bagi kepentingan publik dan bermanfaat bagi upaya pembaruan hukum. Putusan yang dikaji, tidak boleh memiliki conflict of interest dengan Dewan Penyantun atau Badan Pengurus LeIP atau Dewan Redaksi, kecuali jika putusan telah berkekuatan hukum tetap dan menarik perhatian publik. Jika terdapat conflict of interest antara anggota dewan redaksi dengan kasus yang dikaji, maka anggota dewan redaksi tersebut tidak memiliki hak suara. Dalam pemilihan kasus Permohonan Hak Uji Materil atas TGPTPK untuk ditampilkan dalam edisi perdana ini, Adi Andojo dan Retnowuoan Sutantio, mantan Ketua dan Anggota TGPTPK yang juga Dewan Redaksi dictum, tidak memiliki hak suara.
Walau tidak dimaksudkan bersifat tematik, khusus edisi perdana diambil tema dugaan korupsi yang dilakukan oleh Hakim Agung Marnis Kahar, Hakim Agung Supraptini Suharto, dan mantan Hakim Agung M. Yahya Harahap. Sebagaimana diketahui, TGPTPK mengindikasikan ketiga hakim agung tersebut menerima suap dari Endin Wahyudin. Partisipasi Endin dengan melaporkan praktek korupsi tersebut berbuah dengan dituntutnya ia dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik.
Perjalanan kasus tersebut cukup panjang dan berliku. Kesimpulan sementara yang dapat diperoleh, upaya untuk memberantas korupsi masih terbentur tembok penghalang yang menjulang tinggi dan kokoh, yang ironisnya justru berasal dari institusi peradilan sendiri.
Semoga kajian yang kami sajikan ini berguna bagi pembaca sekalian dan dapat menstimulus gagasan pembenahan peradilan Indonesia.
Redaksi
Download Dictum Edisi 1, 2002.